Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Indonesia (ATSI) mendukung penuh regulasi mengenai International Mobile Equipment Identity (IMEI) untuk memberantas ponsel BM di Indonesia.
Namun, mereka keberatan jika harus mengeluarkan investasi untuk pengadaan sistem Equipment Identity Register (EIR) dalam proses validasi IMEI.
Sikap keberatan operator tersebut disampaikan oleh ATSI sebagai salah satu dari 10 masukan soal regulasi IMEI, yang telah disampaikan secara resmi kepada Kemkominfo pada 12 September lalu.
"Mengingat inisiatif ini bukan merupakan kewajban dalam lisensi operator seluler, ATSI menginginkan seluruh biaya pengadaan investasi sistem Equipment Identity Register tidak dibebankan ke operator seluler," ungkap Ketua Umum ATSI, Ririek Adriansyah, dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (24/9/2019).
Investasi pengadaan sistem tersebut, kata Ririek, idealnya harus ditanggung oleh pihak yang benar-benar mendapatkan keuntungan dari regulasi tersebut. "Kami ingin seluruhnya tidak dibebankan, tapi ke yang mendapatkan keuntungan," sambungnya.
Ditambahkan Wakil Ketua Umum ATSI, Merza Fachys, pemerintah dan vendor smartphone merupakan dua pihak yang dinilai paling diuntungkan dari regulasi ini.
Mengutip data Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia (APSI), potensi kerugian pajak yang ditimbulkan akibat ponsel BM sekira Rp 2,8 triliun per tahun.
Kerugian yang besar tersebut dinilai akan dapat diatasi dengan penerapan regulasi soal IMEI ini, sehingga pemerintah dan vendor smartphone menjadi pihak yang paling diuntungkan. Pembuatan regulasi ini melibatkan Kemenkominfo, Kemenperin, dan Kemendag.
"Jika solusi ini (regulasi IMEI) bisa mengatasi ponsel BM, maka pemerintah menjadi yang paling diuntungkan. Pedagang yang menjual barang legal juga akan diuntungkan," jelasnya